Halaman

Daftar Blog Saya

Kamis, 22 April 2010

KY (Komisi Yudisial) menemukan banyak kejanggalan terhadap Vonis Bebas Gayus

Jakarta,
Komisi Yudisial telah memeriksa majelis hakim yang membebaskan pegawai pajak, Gayus Tambunan. Dalam pemeriksaan diketahui bahwa vonis bebas itu disiapkan dalam satu malam.

Setelah memeriksa Ketua Majelis Muhtadi Asnun, hari ini Komisi Yudisial memeriksa dua anggota majelis, Bambang Widiatmoko dan Haran Tarigan. Dalam pemeriksaan, Bambang dan Haran mengaku putusan itu sudah dirancang akan dibacakan pada hari Jumat. "Berdasarkan keterangannya, ketua majelis sudah merancang untuk umroh," kata komisioner KY, Soekotjo Soeparto, di Gedung KY, Jakarta, Rabu (21/4).

Atas permintaan itu, lanjut Busyro, dua anggota majelis mengakui menyanggupi untuk membuat putusan pada hari Jumat. "Semua sudah disiapkan, kalau dalam kuliah itu SKS (sistem kebut semalam)," ujarnya.

Dalam pemeriksaan juga terungkap bahwa majelis juga sudah menyadari ada kejanggalan dalam surat dakwaan. Dakwaan kesatu dan dua untuk Gayus isinya sama. "Seperti copy paste," jelasnya.

Majelis yang terdiri dari Muhtadi, Haran, dan Bambang telah membebaskan Gayus dari semua dakwaan perkara pajak. Sebelumnya, Salah satu hakim yang juga menangani perkara Gayus, Muhtadi Asnun, telah mengaku menerima uang Rp 50 juta dari Gayus.

Uang ini diduga masih terkait putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang membebaskan Gayus Tambunan. Senin kemarin, Mahkamah Agung sudah mengambil tindakan terhadap Asnun.

Rabu, 21 April 2010

MK Diminta Legalkan Lokalisasi Perjudian

Jakarta, 

Pihak pemohon uji materi Undang-Undang Penertiban Perjudian Nomor 7 Tahun 1974 menginginkan aktivitas perjudian dapat dilegalkan dengan cara dilokalisasi agar bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara. "Apabila perjudian dilegalkan, maka bisa bermanfaat dalam bentuk pajak misalnya digunakan untuk dana pendidikan," kata kuasa hukum pemohon, Farhat Abbas, dalam sidang perdana UU Penertiban Perjudian di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (21/4).


Farhat juga memaparkan, bentuk pelegalan dengan lokalisasi judi juga bisa bermanfaat untuk menarik berbagai wisatawan asing sehingga bisa menjadi salah satu bentuk devisa pariwisata. Selain itu, menurut dia, lokalisasi juga bisa menghapuskan berbagai praktik liar perjudian yang kerap dijadikan sarana pemerasan oleh oknum aparat.

Ia mencontohkan, sejumlah negara tetangga yang telah melegalisasikan perjudian misalnya Malaysia dengan Pulau Genting Highland-nya. Para pemohon uji materi UU Penertiban Perjudian terdiri atas dua orang yang masing-masing bernama Suyud dan Liem Dat Koei.

Suyud pernah ditangkap saat bermain kartu kemudian dilakukan penahanan dan dijatuhi hukuman empat bulan 10 hari berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bernomor 332/Pid.B/2006/PN.JKT.PST. Sedangkan Lim Dat Koei adalah warga keturunan Tionghoa. Menurut Farhat, Lim Dat Koei seharusnya mendapatkan perlindungan hukum secara sama dan sejajar dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia termasuk setiap kebiasaan yang sudah menjadi tradisi secara turun temurun seperti permainan judi atau taruhan.

UU Penertiban Perjudian No 7/1974 terdiri atas 5 pasal. Dalam bagian penjelasan umum UU tersebut disebutkan bahwa pada hakikatnya, perjudian adalah bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam bagian penjelasan umum juga disebutkan bahwa pemerintah harus mengambil langkah dan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia. (Ant)

KPK dan Century

SEMULA DPR berencana menyelenggarakan Rapat Paripurna DPR hari ini akanuntuk mengesahkan tim pengawas kasus Century beranggotakan 30 orang dari lintas fraksi. Tapi gagal. Inilah kegagalan yang semakin menunjukkan macetnya pelaksanaan lima rekomendasi paripurna Pansus Hak Angket Kasus Century, yang telah stagnan lebih dari satu setengah bulan.

Dengan demikian, semua rekomendasi itu masih tersimpan dalam laci. Yakni proses hukum kasus Century oleh lembaga-lembaga penegak hukum, pembentukan dan revisi peraturan perundang-undangan di bidang fiskal dan moneter, pemulihan aset, penyelesaian terhadap nasabah Antaboga, dan tim pengawas Century yang hari ini gagal dibentuk. Secara politis, pemerintah juga telah memberikan respons terhadap rekomendasi utama Pansus Angket Century, yaitu menolak untuk menonaktifkan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Padahal, DPR telah memvonis Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia dan Sri Mulyani, mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, telah melakukan pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan ketika mengeluarkan kebijakan bailout menyelamatkan Bank Century pada November 2008. Presiden beralasan pemberhentian pejabat negara haruslah berdasarkan landasan hukum yang kuat dan menyerahkan proses itu ke lembaga-lembaga penegak hukum. Akan tetapi, sejauh ini pihak kepolisian dan kejaksaan belum melakukan langkah-langkah yang berarti. Bahkan kasus Bank Century tenggelam oleh riuh rendahnya kasus Gayus Tambunan setelah dibongkar oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji.
Untunglah masih ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah melakukan beberapa kali gelar perkara, pekan depan KPK memanggil Boediono dan Sri Mulyani. Ada baiknya melalui forum ini kita mengingatkan para penegak hukum bahwa pada rapat koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, dan KPK Desember tahun lalu, telah disimpulkan adanya sembilan jenis pelanggaran tindak pidana dalam kasus Bank Century. Lambannya penanganan kasus Century hanya akan memperkuat keraguan publik bahwa lembaga-lembaga penegak hukum yang tengah merosot kredibilitasnya itu memang tak mampu mengungkap kasus Century secara tuntas.
Tetapi kini secercah harapan bersinar kembali. Di tengah pesimisme terhadap kinerja lembaga penegak hukum, di tengah minimnya respons pemerintah terhadap rekomendasi paripurna Pansus Angket Century, di tengah gagalnya DPR membentuk tim pengawas Century, KPK membuktikan dirinya masih layak diandalkan. Bahwa kasus Century tidak akan dipetieskan.
Keinginan publik sebenarnya sederhana, yakni agar kasus Century terungkap tuntas dan transparan. Bukan terus-menerus ditutup-tutupi dengan macam-macam alasan. (EDITORIAL MI)

Kemenangan Mafia Peradilan & Antek-antek Koruptor

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (19/4), memerintahkan perkara anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, untuk berlanjut ke pengadilan setelah permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo dikabulkan. Benarkah putusan hakim? Bagaimana implikasinya terhadap pemberantasan korupsi?

Hakim Nugroho Setiaji dalam putusannya banyak mengutip saksi ahli yang diajukan Anggodo Widjojo, yakni OC Kaligis dan Chairul Huda. Sementara pendapat ahli ketiga, Rudi Satrio, banyak dikesampingkan dan tidak dikutip sama sekali. “Menimbang saksi ahli OC Kaligis SH pemohon mempunyai hak gugat atau legal standing. Pada pokoknya, perkara yang sudah lengkap atau P-21 harus disampaikan ke pengadilan,” kata hakim Nugraha Setiaji di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Senin (19/4).

Selain hak gugat dan P21, hakim mengutip pendapat OC Kaligis tentang alasan sosiologis. Alasan sosiologis yang dipergunakan Presiden SBY kala itu yakni ”memperhatikan suasana kebatinan masyarakat yang berkembang saat ini”, menurut hakim, mengutip OC Kaligis, tidak pernah dipergunakan dan dikenal dalam wilayah hukum. Dalam hukum acara pidana, alasan menghentikan perkara selalu menggunakan alasan yuridis. “Kalau alasan kebatinan, ahli kebatinan mana yang hendak membuktikan?” ucap Nugroho mengutip pendapat OC Kaligis. Sebelum jadi saksi ahli, OC Kaligis pernah mengajukan praperadilan serupa. Hanya saja, ia ditolak karena dianggap hakim bukan sebagai korban dan tidak mempunyai hak gugat (legal standing).

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung sebelumnya mengeluarkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap pimpinan KPK saat hendak dilimpahkan ke pengadilan. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya SKPP, yakni, masalah sosiologis masyarakat.

Dikeluarkannya SKPP itu, sempat menimbulkan pro kontra dan permohonan praperadilan banyak diajukan ke PN Jaksel. Anggodo Widjojo sendiri mengajukan permohonan praperadilan SKPP ke PN Jaksel.

Hakim tunggal mempertimbangkan bahwa aspek sosiologi tidak pernah digunakan dalam pertimbangan hukum dan tidak sesuai Pasal 140 ayat (2) KUHAP hingga dinilai perbuatan melawan hukum. Sementara Anggodo memiliki legal standing (kedudukan hukum) sebagai korban kasus korupsi sehingga dapat mengajukan gugatan.

Surat yang dipersoalkan itu diterbitkan dengan Nomor : Tap-01/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009, untuk tersangka Chandra Hamzah dan SKPP Nomor: Tap-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009 untuk tersangka Bibit Samad Rianto. Kedua pimpinan KPK itu dituding menerima suap dari Anggodo terkait perkara Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) dengan tersangka kakak Anggodo, Anggoro Widjojo.

Kemenangan Hukum
Kontan kemenangan Anggodo ini langsung disambut gembira oleh Pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, yang menilai keputusan tersebut sebagai kemenangan hukum bukan kemenangan Anggodo saja. “Ini kemenangan hukum bukan kemenangan Anggodo. Ternyata hukum masih bisa berdiri tegak,” kata Bonaran Situmeang usai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya 133, Senin (19/4).

Menurut Bonaran, alasan penghentian tersebut menyalahi hukum. Sebab, berkas perkara keduanya sudah lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan (P-21), sehingga tidak bisa distop. “Kontruksi penghentian hukum tidak sesuai dengan hukum. Kami berterimakasih. Bukannya kami tidak sependapat dengan presiden, tapi implementasi dilapangan tetap harus ke pengadilan,” papar Bonaran dengan wajah sangat gembira.
Sedangkan,

Kejaksaan Banding
Sementara KPK berharap Kejaksaan mengajukan banding terkait putusan PN Jakarta Selatan. “KPK bukan termohon. Termohon adalah Kejaksaan. KPK berharap Kejaksaan ambil upaya hukum dalam hal ini, banding,” kata Kepala Biro Hukum KPK, Khaidir Ramli. Menurut dia, langkah hukum banding diatur dalam pasal 83 ayat 2 KUHAP. “Untuk praperadilan hanya sampai banding, tidak bisa kasasi,” ujar Khaidir.

Dan Kejagung sendiri menyatakan akan mengajukan upaya hukum banding. “Putusan itu belum final. Jaksa masih mempunyai kesempatan melakukan upaya hukum banding,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy. Dan Marwan menyatakan, pihaknya optimistis di tingkat banding nanti akan menang. “Kami selalu optimistis (permohonan banding nantinya akan dikabulkan),” katanya.

Apalagi, ungkap Dr. Hamid Chalid, dosen Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), putusan pencabutan AKPP itu dianggap kemenangan mafia peradilan dan antek-antek koruptor. “Ini luar biasa, saya sampai nggak bisa berkomentar,” begitu komentar yang juga penggiat antikorupsi dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). “Ya…, yang jelas ini adalah kemenangan pertama mafia peradilan dan antek-antek koruptor,” tandasnya.

Sekarang ini lanjutnya, gerakan antikorupsi sedang lemah. Nah ini para mafia peradilan dan antek-antek korupsi seperti mendapat angin. Dengan adanya putusan ini, mereka berharap masyarakat nggak akan berbuat apa-apa.

Dan Hamit melihat SKPP memang sengaja dibuat cacat hukum sehingga mudah dipatahkan. SKPP sengaja dibuat cacat, seperti sengaja dibuat celah untuk dibatalkan. (md/de/rum/ Surabaya Pagi)

Sri Mulyani & Marsilam Terlibat Kasus Mafia Pajak ?

Jakarta – Komisi III DPR akan memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mantan Dirjen Pajak Darmin Nasution, dan Marsilam Simanjuntak terkait kasus pajak senilai Rp31,5 miliar yang melibatkan adik ipar Eddy Tansil, Paulus Tumewu, selaku Dirut PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. “Ya, kita akan panggil pihak-pihak yang diduga terlibat kasus penggelapan pajak ini, antara lain Sri Mulyani, Darmin Nasution, Marsilam, dan sebagainya,’’ kata Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/4).

Sementara itu, Sekjen DPP Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia, Sasmito Hadinagoro, menyatakan, Paulus Tumewu diduga menggelapkan pajak saat menyampaikan surat pemberitahuan tunggakan (SPT). Pengusaha departement store ternama itu diperiksa penyidik Ditjen Pajak pada 3 dan 16 September 2005.

Berdasarkan informasi dan dokumen yang dihimpun primaironline.com kemarin, tanggal 17 September 2005, Paulus ditangkap oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Ditjen Pajak dan kemudian ditahan di rutan Mabes Polri. Setelah penyidikannya selesai, BAP-nya dinyatakan P-21 dan dilimpahkan ke Kejati DKI Jakarta pada 9 November 2005.

Dalam nota dinas Sekjen Depkeu tanggal 25 Juli 2006, Paulus Tumewu dikenakan SKP (surat ketetapan pajak) kekurangan pembayaran PPh tahun 2004 sebesar Rp7,9 miliar dan dikenakan denda administrasi 400 persen dari utang pokok. Penangkapan terhadap Paulus Tumewu dilakukan dengan menggunakan pesawat khusus. Seharusnya, kasus yang BAP-nya sudah lengkap itu diteruskan ke tahap penuntutan, tetapi ia dilepas atas intervensi para petinggi Depkeu.

Pada 23 Nopember 2005, Paulus kirim surat ke Menkeu Sri Mulyani, ia sanggup membayar pajak pokok dan denda 400 persen. Tanggal 28 Nopember 2005, Paulus melunasi pajak (pokok) sebesar Rp7,9 miliar, tetapi dendanya sebesar 400 persen atau senilai Rp31,4 miliar belum dibayar.

Tanggal 11 Mei 2006, ia mengirim surat ke Menkeu yang intinya memohon agar Sri Mulyani mengusulkan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan dan penuntutan atas dirinya. Berdasarkan surat itu, Menkeu lalu memberikan disposisi kepada Sekjen Depkeu.

Pada 25 Juli 2006, Sekjen Depkeu JB Kristiadi mengirimkan nota dinas kepada Menkeu yang isinya, mengingat proses penyidikan telah berakhir dan beralih menjadi proses penuntutan, maka ketentuan pasal 44 B UU KUP tidak lagi dimungkinkan.

Sekjen Depkeu lalu menyarankan agar Menkeu mengajukan permintaan penegasan/pendapat kepada Jaksa Agung dengan pertimbangan, pembayaran utang pajak beserta dendanya mempunyai nilai positif bagi penerimaan negara.

Tanggal 7 Agustus 2006, Sekjen Depkeu kirim surat kepada Menkeu, isinya antara lain, “Sesuai petunjuk Ibu untuk mengkonsultasikan dengan Bapak Marsilam Simanjuntak.’’

Sekjen juga menyampaikan konsep surat Menkeu kepada Jaksa Agung perihal penghentian penyidikan wajib pajak atas nama Paulus Tumewu, yang telah dikonsultasikan dengan Marsilam Simanjuntak, yang mengusulkan perlunya dipertegas dalam konsep Menkeu mengenai kewajiban melunasi denda terlebih dahulu.

Tanggal 16 Oktober 2006, Menkeu mengirim surat kepada Jaksa Agung perihal penghentian penyidikan wajib pajak atas nama Paulus Tumewu. Sebelumnya, tanggal 28 Agustus 2006, Dirjen Pajak Darwin Nasution juga mengirimkan surat kepada Menkeu perihal tindak lanjut usul penghentian penyidikan Paulus Tumewu.

“Tanggal 7 Agustus 2006, Sekjen Depkeu JB Kristiadi mengirim nota dinas kepada Menkeu juga perihal usulan penghentian penyidikan Paulus Tumewu. Barangkali bapak-bapak bisa tanyakan, layakkah itu dilakukan? Apakah pantas pejabat-pejabat itu lakukan intervensi, kasus yang sudah P-21 kok dihentikan. Apalagi yang bersangkutan hanya bayar pajak pokoknya saja, dendanya belum,’’ kata Sasmito.

Menanggapi penjelasan itu, anggota Komisi III DPR Ahmad Yani mendesak agar Panja Pengawas Pajak Komisi III DPR segera memanggil Sri Mulyani, bekas Jaksa Agung Abdulrahman Saleh, Marsilam Simanjuntak, Darmin Nasution, Sekjen Depkeu dan Paulus Tumewu. Ia juga mengusulkan agar penerimaan negara dari pajak tidak diserahkan kepada Ditjen Pajak tetapi badan yang otonom.

Rekannya dari Fraksi Hanura, Syarifuddin Sudding mengatakan, kalau penjelasan itu benar, berarti Menkeu lakukan pembohongan kepada Jaksa Agung saat itu, yakni Abdulrahman Saleh. Sri Mulyani, ujarnya, telah memberikan keterangan palsu pada kejaksaan agung, oleh karena itu harus dipanggil oleh Panja Pengawas Pajak Komisi III DPR. “Ini tergolong perbuatan pidana yang tak bisa ditolerir,’’ kata Sudding. (Primair)

Terlibat Mafia Pajak?
Terus terang, akibat kasus ini, kasus kakap mafia pajak kembali meruak dan makin jelas duduk perkaranya. Komisi III DPR Selasa mengurai benang kusut mafia pajak yang melibatkan kasus Paulus Tumewu, bos Ramayana dan adik ipar Edi Tanzil yang melakukan penggelapan pajak. Dalam skandal mafia pajak itu, disebut nama Sri Mulyani dan Marsillam Simanjuntak.

“Dalam kasus itu, potensi kerugian Negara di atas Rp 300 milyar, tersangka sudah ditahan dan kasus sudah P-21, namun karena keterlibatan para elite, maka Kejagung mengeluarkan SP3,’’ kata Ahmad Yani, anggota DPR Fraksi PPP

’’Dalam kaitan mafia pajak Paulus Tumewu itu, kami ingin Komisi III betul-betul mengusut ”big fish” (ikan besar) ini, siapa dibalik mafia pajak,” imbuh Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadinagoro,Selasa (20/4).

Ahmad Yani dan Sasmito bersama ekonom Ichsanurdin Noorsyi dan kalangan DPR lainnya menguraikan kasus Paulus Tumewu, yang melakukan penggelapan pajak, dengan potensi kerugian negara di atasRp 300 milyar, dimana Paulus sebagai tersangka sudah ditahan dan kasus sudah P-21.

‘’Tadi sudah diuraikan APPI bahwa skandal itu dihentikan pemeriksaan hukumnya oleh Sri Mulyani dan Marsillam Simanjuntak, lalu Kejagung mengeluarkan SP3,‘’kata Sasmito mewakili APPI.

Kasus itu sebenarnya sudah dilaporkan ke KPK tahun 2007, tapi tidak digubris. Lantas, siapa markusnya di sini? Ahmad Yani menyebut nama-nama yang diuraikan APPI seperti Marsillam dan Sri Mulyani diduga kuat terlibat di dalamnya.

Terkait big fish itu, Sasmito menyatakan sengaja mengungkapkan yang asosiasinya ketahui sesuai arahan Presiden RI. “Sehubungan perintah Bapak SBY juga kepada satgas mafia hukum, agar satgas bisa mengungkap atau menangkap big fish atau ikan besarnya, kami pun mengungkapnya. Juga terkait kongkalikong di bidang perpajakan ini yang melibatkan Marsillam dan Sri Mulyani,” paparnya.

’’Ada satu dokumen kasus yang patut diperiksa KPK dan penegak hukum lainnya untuk diklarifikasi,” imbuhnya.

Menurut Sasmito, tindakannya membongkar kasus tersebut karena penerimaan pajak menopang lebih dari 60 persen ABPN Indonesia. “Di APBN 2010 pun lebih dari Rp600 triliun diharapkan masuk dari pajak,” ujarnya.Panja PPNS komisi III mengundang Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) untuk dimintai keterangan seputar mafia pajak, Selasa (20/4/2010).

Sasmito meminta Komisi III DPR benar-benar menuntaskan mafia pajak. Sebab kalau tidak segera dibereskan, rakyat yang akan rugi. “Supaya dilakukan kongkrit agar pembayar pajak yang sudah membayar dengan baik supaya masuk kas negara. Karena lebih dari 60 persen belanja negara dari pajak,” papar Sasmito. (JP/ KN)

Senin, 19 April 2010

ICW : Indonesia Darurat Mafia Hukum


Praktek mafia peradilan marak terkuak di berbagai institusi penegak hukum dan juga Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Indonesia Corruption Watch (ICW) memberi julukan untuk kondisi ini sebagai darurat mafia hukum.

“Kondisi kita saat ini berada dalam kondisi darurat mafia. Diperlukan adanya perombakan yang menyeluruh di semua institusi,” kata ujar peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, dalam diskusi bertajuk ‘Bersihkan Institusi Penegak Hukum dan Ditjen Pajak dari Mafia’ di kantor ICW, Jl Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (18/4/2010).

Febri memberikan usulan, untuk membersihkah Kepolisian, misalnya, Indonesia dapat meniru Hongkong. Di sana, komisi pemberantasan korupsi Hongkong lebih mengutamakan pembersihan kepolisian. Sedangkan untuk pembersihan Ditjen Pajak, Indonesia dapat belajar dari Filipina.

“Untuk pembersihan institusi pajak, kita bisa belajar dari Filipina untuk pembuktian terbalik. Tapi hal itu belum dilakukan di negara kita,” tandas Febri.

Menurut Febri, sampai saat ini Satgas Pemberantasan Mafia Hukum hanya bergerak dari kasus ke kasus saja. Bukan tidak mungkin, cuma kasus-kasus kecil yang terungkap.

“Bukan tidak mungkin ketika yang kecil-kecil dikorbankan, ini malah memperkuat mereka yang di atas. Jangan sampai kasus ini justru menjadi vaksin yang memperkuat markus di kemudian hari,” pungkasnya.

Korupsi Atas Nama Pendidikan

Seram mungkin bila kita membaca judul artikel ini. Korupsi di pengadilan atau korupsi di bank yang membawa nama pribadi atau organisasi saja sudah buruk, apalagi korupsi atas nama pendidikan?!

Tetapi sayangnya, korupsi jenis ini sudah sering terjadi di Indonesia. Banyak kasus korupsi yang terjadi pada institusi yang mestinya melayani masyarakat di bidang pendidikan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melaporkan dugaan korupsi di sektor pendidikan yang nilainya mencapai Rp. 852,7 miliar. Korupsi dana pendidikan ini utamanya dilakukan aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah. Dana yang diselewengkan yang terbesar adalah alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana operasional sekolah.

Audit BPK juga menyatakan mengenai penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan terjadi pada 60% sekolah yang menerimanya. Dana BOS yang diselewengkan itu rata-rata mencapai Rp 13,7 juta per sekolah. Di tengah meningkatnya anggaran pendidikan dan anggaran Depdiknas, kasus-kasus ini menjadi ironi. Ketidakseriusan penegak hukum dalam menangani kasus korupsi di sektor pendidikan inilah yang menyebabkan kasusnya tidak berhenti.

Penindakan kasus korupsi sejenis ini hanya mampu menjerat para pelaku di tingkat dinas pendidikan dan sekolah. Sementara, para pelaku di tingkat departemen dan DPR jumlahnya masih sangat sedikit yang ditindak. Sebanyak 287 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka, 42 orang berasal dari dinas pendidikan dan 67 orang dari jajarannya.

Bagaimana pendidikan anti korupsi akan berhasil bila pendidiknya saja memberikan contoh yang buruk dengan melakukannya?