Halaman

Daftar Blog Saya

Rabu, 21 April 2010

Kemenangan Mafia Peradilan & Antek-antek Koruptor

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (19/4), memerintahkan perkara anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, untuk berlanjut ke pengadilan setelah permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo dikabulkan. Benarkah putusan hakim? Bagaimana implikasinya terhadap pemberantasan korupsi?

Hakim Nugroho Setiaji dalam putusannya banyak mengutip saksi ahli yang diajukan Anggodo Widjojo, yakni OC Kaligis dan Chairul Huda. Sementara pendapat ahli ketiga, Rudi Satrio, banyak dikesampingkan dan tidak dikutip sama sekali. “Menimbang saksi ahli OC Kaligis SH pemohon mempunyai hak gugat atau legal standing. Pada pokoknya, perkara yang sudah lengkap atau P-21 harus disampaikan ke pengadilan,” kata hakim Nugraha Setiaji di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Senin (19/4).

Selain hak gugat dan P21, hakim mengutip pendapat OC Kaligis tentang alasan sosiologis. Alasan sosiologis yang dipergunakan Presiden SBY kala itu yakni ”memperhatikan suasana kebatinan masyarakat yang berkembang saat ini”, menurut hakim, mengutip OC Kaligis, tidak pernah dipergunakan dan dikenal dalam wilayah hukum. Dalam hukum acara pidana, alasan menghentikan perkara selalu menggunakan alasan yuridis. “Kalau alasan kebatinan, ahli kebatinan mana yang hendak membuktikan?” ucap Nugroho mengutip pendapat OC Kaligis. Sebelum jadi saksi ahli, OC Kaligis pernah mengajukan praperadilan serupa. Hanya saja, ia ditolak karena dianggap hakim bukan sebagai korban dan tidak mempunyai hak gugat (legal standing).

Seperti diketahui, Kejaksaan Agung sebelumnya mengeluarkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap pimpinan KPK saat hendak dilimpahkan ke pengadilan. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya SKPP, yakni, masalah sosiologis masyarakat.

Dikeluarkannya SKPP itu, sempat menimbulkan pro kontra dan permohonan praperadilan banyak diajukan ke PN Jaksel. Anggodo Widjojo sendiri mengajukan permohonan praperadilan SKPP ke PN Jaksel.

Hakim tunggal mempertimbangkan bahwa aspek sosiologi tidak pernah digunakan dalam pertimbangan hukum dan tidak sesuai Pasal 140 ayat (2) KUHAP hingga dinilai perbuatan melawan hukum. Sementara Anggodo memiliki legal standing (kedudukan hukum) sebagai korban kasus korupsi sehingga dapat mengajukan gugatan.

Surat yang dipersoalkan itu diterbitkan dengan Nomor : Tap-01/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009, untuk tersangka Chandra Hamzah dan SKPP Nomor: Tap-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009 untuk tersangka Bibit Samad Rianto. Kedua pimpinan KPK itu dituding menerima suap dari Anggodo terkait perkara Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) dengan tersangka kakak Anggodo, Anggoro Widjojo.

Kemenangan Hukum
Kontan kemenangan Anggodo ini langsung disambut gembira oleh Pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, yang menilai keputusan tersebut sebagai kemenangan hukum bukan kemenangan Anggodo saja. “Ini kemenangan hukum bukan kemenangan Anggodo. Ternyata hukum masih bisa berdiri tegak,” kata Bonaran Situmeang usai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya 133, Senin (19/4).

Menurut Bonaran, alasan penghentian tersebut menyalahi hukum. Sebab, berkas perkara keduanya sudah lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan (P-21), sehingga tidak bisa distop. “Kontruksi penghentian hukum tidak sesuai dengan hukum. Kami berterimakasih. Bukannya kami tidak sependapat dengan presiden, tapi implementasi dilapangan tetap harus ke pengadilan,” papar Bonaran dengan wajah sangat gembira.
Sedangkan,

Kejaksaan Banding
Sementara KPK berharap Kejaksaan mengajukan banding terkait putusan PN Jakarta Selatan. “KPK bukan termohon. Termohon adalah Kejaksaan. KPK berharap Kejaksaan ambil upaya hukum dalam hal ini, banding,” kata Kepala Biro Hukum KPK, Khaidir Ramli. Menurut dia, langkah hukum banding diatur dalam pasal 83 ayat 2 KUHAP. “Untuk praperadilan hanya sampai banding, tidak bisa kasasi,” ujar Khaidir.

Dan Kejagung sendiri menyatakan akan mengajukan upaya hukum banding. “Putusan itu belum final. Jaksa masih mempunyai kesempatan melakukan upaya hukum banding,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy. Dan Marwan menyatakan, pihaknya optimistis di tingkat banding nanti akan menang. “Kami selalu optimistis (permohonan banding nantinya akan dikabulkan),” katanya.

Apalagi, ungkap Dr. Hamid Chalid, dosen Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), putusan pencabutan AKPP itu dianggap kemenangan mafia peradilan dan antek-antek koruptor. “Ini luar biasa, saya sampai nggak bisa berkomentar,” begitu komentar yang juga penggiat antikorupsi dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). “Ya…, yang jelas ini adalah kemenangan pertama mafia peradilan dan antek-antek koruptor,” tandasnya.

Sekarang ini lanjutnya, gerakan antikorupsi sedang lemah. Nah ini para mafia peradilan dan antek-antek korupsi seperti mendapat angin. Dengan adanya putusan ini, mereka berharap masyarakat nggak akan berbuat apa-apa.

Dan Hamit melihat SKPP memang sengaja dibuat cacat hukum sehingga mudah dipatahkan. SKPP sengaja dibuat cacat, seperti sengaja dibuat celah untuk dibatalkan. (md/de/rum/ Surabaya Pagi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar