Halaman

Daftar Blog Saya

Sabtu, 22 Mei 2010

Sri Mulyani Mulai Bicara Blak-blakan

Di hadapan para tokoh nasional, Selasa (18/5) malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani bicara blak-blakan seputar konstelasi politik di balik alasan pengunduran dirinya. Ia pun membeberkan adanya pejabat tinggi negara yang terlibat konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan yang pada akhirnya menguntungkan mereka atau kerabatnya.

“Banyak yang menyesalkan saya mundur sebagai kekalahan. Tapi, di forum ini, saya ingin menegaskan bahwa saya menang, karena tidak berhasil didikte oleh siapa pun yang tidak menginginkan saya di sini,” ungkap Sri Mulyani dalam kuliah umum bertajuk ‘Kebijakan Publik dan Etika Publik’ yang digelar Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) di Ballroom Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (18/5) malam.

Puluhan tokoh nasional hadir di sana, antara lain Rahman Tolleng, Wimar Witoelar, Yenny Wahid, Erry Riyana Hardjapamekas, Marsillam Simanjuntak, Todung Mulya Lubis, Goenawan Mohamad, Teten Masduki, dan Pjs Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.

Presiden SBY sudah menyetujui pengunduran diri Sri, yang akan menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia per 1 Juni mendatang dan berkantor di Washington, DC, Amerika Serikat. Soal pengunduran dirinya, Sri mengakui keputusan itu dibuat tak lepas dari kondisi politik di dalam negeri. “Ini sebuah kalkulasi politik bahwa sumbangan saya sebagai pejabat publik tak lagi dikehendaki dalam sistem politik di mana perkawinan keputusan itu begitu sangat nyata,” ujarnya.

“Orang bilang itu kartel, saya menyebutnya kawin saja,” ungkap Sri dalam pernyataannya yang seolah menjawab lontaran yang disampaikan oleh Rocky Gerung dari P2D dalam sambutannya saat membuka acara. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) tersebut, politik Indonesia kini tidak lagi diwarnai politik akal sehat, melainkan politik kartel.

Yang dimaksudkannya tak lain adalah Presiden SBY dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang kini bersepakat membentuk Sekretariat Gabungan Partai Koalisi. Dalam sistem politik seperti ini, menurut Sri, tidak lagi ada etika berpolitik. “Orang seperti saya tidak mungkin bisa lagi eksis. Saya memang bukan politikus dan bukan dari partai politik, tapi tidak berarti saya tak mengerti politik,” ungkap Sri Mulyani.

Itu sebabnya, Sri Mulyani pun merasa telah diperlakukan tidak adil dalam kasus penyelamatan Bank Century yang dipersoalkan anggota DPR. “Apakah proses politik yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan divonis terhadap dirinya tanpa melalui pengadilan? Sedemikian pandainya proses politik itu sehingga dibebankan pada satu orang,” ujar Sri mempertanyakan.

Hal lain yang juga disentil oleh Sri adalah soal saratnya konflik kepentingan sejumlah “pejabat pengusaha” dalam proses pengambilan keputusan di kabinet. Ia mengaku, sepanjang kariernya sebagai menteri selama lima tahun, ada sejumlah kasus yang dengan jelas menggambarkan perilaku itu.

Menurut Sri, meski para pejabat itu mengaku kepada publik telah meninggalkan segala urusan soal usahanya, keluarganya masih terlibat dalam usaha. Ada kebijakan, kata Sri, yang dibuat, dan dari keputusan itu ternyata yang mendapat keuntungan adalah salah satu perusahaan milik si “Pejabat Pengusaha”.

“Bagaimana mungkin rapat untuk kebijakan publik dilakukan dengan orang yang akan menikmati kebijakan itu? Selalu dibilang, yang penting pemerintahan efektif. Ternyata yang impor perusahaan keluarga dia,” beber Sri pula.

Tak Hargai Sistem Meritokrasi
Sri Mulyani mengutarakan alasannya mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan. Ia merasa dipojokkan sebagai pembantu pemerintah karena dirinya tidak lagi dikehendaki oleh lingkungan politik. Menurut pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhan Muhtadi, pernyataan Sri Mulyani ini bisa dimaknai sebagai sindiran terhadap sistem politik yang tidak menghargai sistem meritokrasi.

“Ini sindiran. Dia menyindir sistem politik kita yang kurang menghargai sistem meritokrasi yang menghargai sesuai kemampuan,” kata Burhan, Rabu (19/5/2010).

Pernyataan yang disampaikan Sri Mulyani tersebut secara langsung juga mengungkapkan kekecewaan dirinya terhadap sistem meritokrasi yang seharusnya diterapkan dalam pemerintahan, tetapi malah dikalahkan oleh kepentingan politik. “Jadi dia menyayangkan kenapa sistem kita tidak mengikuti sistem meritokrasi tetapi malah mengikuti patron politik,” ungkapnya.

Sebagai seorang birokrat tulen, wajar jika Sri Mulyani merasa kecewa dipinggirkan oleh kepentingan politik. Pemerintah seharusnya memberi perlindungan kepada dia. Oleh karena itu, Sri Mulyani, Selasa (18/5) malam, memaparkan alasan dirinya mundur sebagai pejabat publik. Ia merasa dipojokkan dalam panggung politik dimana saat ini sebagai pembantu pemerintah dirinya tidak lagi dikehendaki dalam sebuah sistem politik.

“Mengapa Sri Mulyani mundur dari Menteri Keuangan? Tentu ini sudah ada dalam kalkulasi, dimana saya anggap sumbangan dan kepentingan saya sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam suatu sistem politik,” ungkap Sri Mulyani dalam kuliah umum yang bertemakan Kebijakan Publik dan Etika Publik di Ballroom Ritz Carlton, Jakarta.